BUKAN main berangnya Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Makassar, Hakim Syahrani. Hanya sehari setelah mencopot puluhan baliho dan spanduk bakal calon kepala daerah Kota Makassar, di tempat yang sama kembali bermunculan baliho dan spanduk yang sama.
Di halaman samping Balaikota Makassar tertumpuk puluhan atribut liar itu. Ada gambar Adil Patu, Idris Manggabarani, Ridwansyah Putra Musagani, Jaffar Sodding, Zulkifli Gani Ottoh, Busrah Abdullah, bahkan gambar Ilham Arief Sirajuddin, atasan mereka.
"Tugas kami adalah menegakkan aturan. Saya tak kompromi. Tetapi tolong hargai kami. Masa kami harus tongkrongi tempat itu setiap menit," katanya dengan nada kesal yang tampak ia tahan di kantornya, pekan lalu. Sejumlah wartawan tertegun mendengarnya.
Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, telah mengeluarkan peraturan wali kota yang melarang pemasangan atribut pilkada di tujuh ruas jalan. Ia memerintahkan pencabutan gambarnya sendiri.
Atribut ini muncul setahun sebelum voting day. Kampanye resmi Pilkada Makassar awal Oktober 2008. Artinya, sebulan setelah itu kota akan dipebuhi baliho. Ini bersamaan penyelenggaraan event pariwisata kelas dunia, Tourism Indonesian Mart Expo (TIME) untuk kali kedua dan event nasional, pertemuan Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar (PSBM).
Dan kota akan kian jorok dengan jemuran politisi, sebab saat itu sudah memasuki tahap warming up bagi sekitar seribuan calon legislatif (caleg) puluhan partai politik yang akan ikut Pemilu Legislatif, 5 April 2009.
Tapi ini momen politik. Penggagas dan pelakunya adalah para politisi. Mereka tahu aturan, tapi mereka paham dan bisa memanfaatkan letak kebocoran aturan. Sorotan pun datang.
Aktivis LSM, Asmin Amin, misalnya, menilai baliho itu sebagai perampasan hak warga untuk menikmati keindahan kota. Dia mengibatakannya atribut sosialisasi itu sebagai jemuran politisi. "Bagaimana joroknya kalau banyak jemuran dipajang di depan rumah mewah," katanya mentamsilkan.
Kesan kumuh dan anya satu dampak. Ketua Asosiasi Pengusaha Reklame Indonesia Sulsel, Iwan Aziz, menyebutkan baliho politik itu juga telah membuat Pemerintah Kota Makassar kehilangan potensi pendapatan dari pajak dan retribusi reklame sebesar Rp 6 miliar per bulan.
Jika ada 500 baliho saja dengan ukuran satu kali tiga meter, maka pendapatan pemerintah kota yang hilang dari pajak sebesar Rp 120 juta per bulan. Sedangkan kehilangan retribusinya mencapai Rp 5,62 miliar. Belum potensi kehilangan dari spanduk. Diperkirakan total Rp 6 miliar.
Seperti malu diteriaki, setelah media massa melansir pemberitaan potensi kehilangan itu, sejumlah bakal calon membayar pajak. Idris Manggabarani membayar pajak balihonya sebesar Rp 7,7 juta, Ilham membayar Rp 1 juta untuk baliho di Jl Jenderal Sudirman, dan Adil Patu kabarnya Rp 7 juta.
Tapi masalah tidak selesai hanya dengan meyetor segepok uang. Kenyataannya, ribuan atribut liar masih bertebaran di seluruh sudut Kota Makassar. Laiknya jamur di musim hujan, satpol PP mencopot, atribut itu muncul lagi. Semakin kerap razia dilakukan, semakin banyak pula atribut liar yang muncul.(furqon madjid)
Angkat Tangan, Parpol Tuding Pendukung
SEPERTI komandan pamong praja kota, partai politik pendukung figur juga angkat tangan atas munculnya atribut pilkada liar itu. Alasannya atribut itu didesain, dibuat, dan dipasang para simpatisan dengan biaya mereka sendiri.
Mantan fungsionari DPC Partai Persatuan Pembangunan yang juga diam-diam pasang belasan atribut, Zulkifli HIM, mengatakan, baliho dipasang oleh simpatisan dan pendukung Ridwan Syahputra Musagani. Tapi ia mengakui kelemahan partainya dalam mengontrol.
Hal ini juga pernah diungkapkan Ilham Arief Sirajuddin dan lingkaran manajemen pemenangannya. Ilham menjamin atribut yang dipasang dirinya dan partainya tidak melanggar aturan. Berusaha menunjukkan contoh, Ilham memerintahkan pendukungnya mencopot sendiri, Januari lalu. Komunitas Pendukung Aco Sirajuddin (Kompas) pun ramai-ramai menurunkan baliho bergambar Ilham. Tapi aksi ini ternyata tak efektif menjadi teladan.
Tapi keluhan datang dari Busrah Abdullah, figur wali kota dari PAN. Setelah "diturunkan paksa" oleh ternjangan angin beliung, dua pekan terakhir balihonya dirusak oleh para vandalis, orang tak bertanggungjawab. Dia pasrah tapi tak kapok. "Saya akan pasang seribu lagi," kata Busrah mengomentari pengrusakan itu. Beberapa baliho calon lain juga alami hal serupa.(jid/rex)
"Sebagai partai pengusung Pak Ridwan, kami memang minim melakukan sosialisasi aturan pemasangan baliho kepada simpatisan dan para pendukung. Termasuk kepada Pak Ridwan sendiri. Saya akui memang ada arogansi pemasangan,"
Zulkifli HIM
Politisi PPP Makassar
"Kami sudah mengingatkan, tapi kami tak bisa melarang para relawan dan simpatisan yang jumlahnya ribuan untuk tidak manaikkan baliho. Itu inisiatif mereka dan kebenyakan di pasang di posko-posko relawan,"
"Pemerintah kota yang harusnya tegas mengategorikan baliho pilkada. Apakah merupakan reklame sosial atau komersil. Selama ini tidak ada aturan yang tegas tentang hal itu.
Syamsu Rizal,
Fungsionaris PDK (Tim Adil Patu)
Memburu Pemasang Liar di Kelurahan
PEMERINTAH Kota Makassar telah memberikan dua kali tenggat waktu kepada partai politik pengusung bakal calon wali kota dan wakil wali kota. Batas waktu pertama diberikan 11 Februari lalu. Batas waktu kedua diberikan 23 Februari.
Dengan alasan dipasang simpatisan para politisi di DPRD tidak membicarakan penurunan ini. Mereka malah meminta pemerintah kota tidak menghalangi hak sosialisasi para bakal calon. "Kita berharap itu tidak mengurangi nilai sosialisasi," ujar fungsionaris PDK, AM Riyadi.
Sekretaris Tim Penertiban Atribut Pilkada yang juga Kepala Bagian Kesatuan Bangsa (Kesbang) Pemerintah Kota Makassar, Rompegading, mengatakan, peraturan wali kota mengatur lokasi penempatan dan pembayaran pajak atribut sosialisasi pilkada.
"Itu bukan reklame sosial. Pemasangannya harus dikoordinasikan dengan dinas pendapatan daerah. Tanpa koordinasi tidak boleh dipasang, katanya di Makassar, awal Februari lalu. Karena dikategorikan bukan sebagai reklame sosial, maka tidak ada alasan para pemasang untuk izin dan membayar retribusi.
Akhir pekan lalu, Rompegading kembali berbicara soal ini. Kali ini, ia tidak lagi menuding partai politik sebagai pembuat kumuh itu. "Kita sudah beri surat ke partai politik. Tapi bukan mereka yang memasang. Para simpatisan dan pendukung itu yang memasang," katanya di Balaikota.
Kesbang memerintahkan lurah untuk mendata kelompok-kelompok itu. Setelah jelas, pihaknya baru akan memberi teguran.(jid)
Harus Bebas Atribut Pilkada
Jl Riburane
Jl Ahmad Yani
Jl Jenderal Sudirman
Jl Ratulangi
Jl Haji Bau
Jl Penghibur
Jl Ujung Pandang.
Jalan-jalan di dalam lingkar tujuh jalan itu
Mereka Tebar Baliho/Spanduk
- Abd Latif Jusuf Dg Nompo (mantan asisten pemkot)
- Adil Patu (Ketua PDK Makassar/anggota DPRD Sulsel)
- Adjid Siradju (PAN/ Wakil Ketua DPRD Makassar)
- Andri S Bulu (fungsionaris Partai Demokrat/anggota DPRD Sulsel)
- Arwan Tjahyadi (legislator Makassar, PKPI)
- Bahar Ngitung (Ketua Kadin Makassar)
- Basri Mas'ud Tappa (Partai PDP)
- Busrah Abdullah (Ketua PAN Makassar)
- Chaerul A Tau (Camat Tamalate)
- Chairil Ibrahim (legislator PPP Makassar)
- Firmansyah Mappasawang (pengusaha)
- Idris Manggabarani (Bendahara Partai Demokrat Sulsel)
- M Jegger (pengusaha)
- Ilham Arief Sirajuddin (Ketua Golkar Makassar/ Wali Kota Makassar)
- Jafar Sodding (PKS/Wakil Ketua DPRD Makassar)
- Muchtar Juma (Ketua PDIP Makassar/anggota DPRD Makassar)
- Nasran Mone (anggota DPRD Makassar/ fungsionaris Golkar)
- Rahmawajid Talli Dg Bani (mantan anggota DPRD Makassar/pengusaha)
- Ridwan Syahputra Musagani (mantan Dirut PDAM Makassar)
- Rudi Pieter Goni (fungsionaris PDIP)
- Tasrif Muin (akar rumput, calon independen)
- Zulkifli Gani Otto (Ketua KPU Makassar)
- Zulkifli HIM (Politisi PPP Makassar)
(Harian Tribun Timur 14/4/2008)
19 April 2008
Baliho Pilkada dan Estetika Kota; JEMURAN POLITISI DI TENGAH KOTA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar